Oleh: Abdul Karim Lubis
Mahasiswa SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta /Guru
PAI SMA Mujahidin Pontianak
A. Pendahuluan
Pluralisme agama telah
menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad
20, khususnya di Indonesia .
Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali
terjadi disharmonis dengan mengatasnamakan agama, diantaranya kekerasan sesama
umat beragama, maupun kekerasan antarumat beragama.
Islam adalah agama
universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan
mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin
dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat
menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui
hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran
masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Dialog dan komonikasi
antarumat beragama merupakan suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh
segenap elemen umat beragama, guna untuk menghilangkan kecurigaan, suudzhan
dan untuk menjalin hubungan yang harmonis anatarsesama umat beragama. Agama Islam
sangat terbuka dan selalu membuka diri untuk berdialog dengan sesama umat
beragama sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah pada periode Madinah,
dialog yang dibangun Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah kemudian melahirkan
suatu perjanjian yang sangat terkenal yaitu “Piagam Madinah”.
B. Konsep Dasar Pluralisem Agama
Kata “pluralisme agama”
berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahsa Inggris “religius
pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan dari kata plural
dan isme. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih
dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan
dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang
berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam Kamus The
Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural”
diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi
pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam
konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam
agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk,
patuh, taat, jalan. Pluralisme
agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam
satu komonitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran
masing-masing agama.
Dengan demikian yang
dimaksud “pluralisme agama”
adalah terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi)
yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling
berinteraksi antara penganut satu agama dengn penganut agama lainnya, atau
dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui
keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami
sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang
bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.
Pengakuan terhadap
kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama yang kita
peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi penganut agama
lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang paling benar.
Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling menghormati dan
menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila pertama Pncasila
“Ketuhanan yang Maha Esa”, dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan
beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di samping jaminan kebebasan beragama, keputusan
yang fundamental ini juga merupakaan jaminan tidak ada diskriminasi agama di
Indonesia. Mukti Ali, secara
filosofis mengistilahkan dengan agree in disagreement (setujua dalam
perbedaan).
Setiap agama tidak
terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan. Keterpisahan mereka dalam
kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme yang merupakan watak dasar
masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari. Dilihat dari segi etnis, bahasa,
agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia
termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu Negara
multikultural terbesar di dunia. Hal
ini disadari oleh para founding father kita, sehingga mereka
merumuskan konsep pluralisme
ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Munculnya Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan
pluralisme ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam
mengahadapi penjajah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal
munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Pluralisme ini juga tetap dijunjung
tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebgaimana dapat dilihat, antar alin
dalam siding BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat mengahrgai
pluralisme, baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh
kata” dalam Pancasila, yang terdapat dalam Piagam Jakarta, pun dipahami dalam
konteks mengahargai kemajemukan dan pluralisme.
Untuk mendukung konsep
pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi antarsesama umat beragama.
Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya
kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi masih
sering muncul dalam suatu masyarakat, termasuk di Eropa Barat Amerika dan negara-negara
lain.
C. Pandangan Isalam Terhadap
Pluralisme Agama
Islam adalah agama
universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan
mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah)
yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan
ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah
agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup
bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Sesungguhnya, fenomena
agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus
berlanjut sampai akhir kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam
tentang puluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad saw. dan Islam dalam
kehidupan umat manusia. Sejarah
mencatat bahwa Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang
terakhir dengan membawa risalah Islamiyah, dengan misi universal rahmatallila’alamin
sebagaimana tertuang dalam Firman Allah “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya’: 21/107).
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad menjadi pnutup semua ajaran langit
(agama samawi) untuk umat manusia, Islam tidak mempersoalkan lagi
mengenai asal ras, etnis, suku, agama dan bangsa. Semua manusia dan makhluk
Allah akan mendapatkan prinsip-prinsip rahmat secara universal.Al-qur’an
telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme ketika menegaskan
sikap penerimaan al-qur’an terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup
bersama dan berdampingan. Yahudi,
Kristen dan agama-agama lainnya baik agama samawi maupun agama ardhi
eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang
tidak terdapat di dalam agama lain.
Agama Islam adalah
agama damai yang sangat mengahargai, toleran dan membuka
diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sanagat banyak ditemukan di
dalam al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu agamamu dan untukku
agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6). Pluarlisme agama adalah merupakan
perwujudan dari kehenddak Allah swt. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun sebenarnya Allah
punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu.” (QS. Hud:
11/118). Dalam al-qur’an berulang-ulang Allah manyatakan bahwa perbedaan di
antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya
dan bahasa adalah wajar, Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama
sebagai rahmat. Allah menganugrahkan nikmat akal kepada manusia,
kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari
Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (QS. Al
Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih dan
inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun tentunya
kebebasa itu adalah kebabsan yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan
Allah swt. Pluralisme agama mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang
berbeda agama (the religious other) tidak sekedar toleransi, tetapi
jauh dari itu memahami akan substansi ajaran agama
orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma yang efektif
bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok manusia dengan
latar belakang yang berbeda bersedia membangun sebuah komonitas global.
Nurkhalis Madjid, mengatakan bahwa salah satu persyaratan terwujudnya
masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang
mengharagai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan
sebagai suatu keniscayaan.
Al-qur’an melihat
kemajemukan agama sebagai misteri ilahi yang harus diterima untuk memungkinkan
hubungan antarkelompok dalam wilayah publik. Namun, Al-quran mengakui ekspresi
keberagamaan manusia yang berbeda memiliki nilai spiritual interinsik atau
nilai perennial. Menurut
Gamal al-Banna, Al-qur’an sangat aspiratif terhadap akal. Betapa banyak ayat
yang menyampaikan pentingnya penggunaan akal. Hingga tidak sedikit ayat yang
dimulai dari redaksi rasional seperti alam tara
(apakah kamu tidak melihat); alam ta’lam (apakah kamu tidak mengetahui)
dan dikahiri dengan redaksi yang sama (rasional); seperti afala
tatafakkarûn (apakah kalian tidak berpikir); afala ta’qilûn
(apakah kalian tidak menggunakan akal) dan lain sebagainya.Islam
meletakkan prinsip menerima eksistensi agama lain dan memberikan kebebasan
kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa batasan.
Dengan adanya kebebasan inilah, Yahudi, Kristen mendapatkan kebesannya secara
sempurna.
D. Al-qur’an dan Pluralitas
Keagamaan
Kitab suci al-qur’an
diturunkan dalam konteks kesejarahan dan stuasi keagamaan yang pluralistik
(plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk keyakinan agama yang
berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad saw. menjalankan misi
profetkinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi); Kristen,
Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya yang sangat
berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh al-qur’an dalam berbagai levelnya
adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.
Kedatangan al-qur’an
ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta mendeskriditkan agama-agama
yang berkembang pada saat itu, tapi al-quran sangat bersifat asfiratif,
akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum al-qur’an
diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu al-qur’an juga mengakui akan keutamaan
umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Whai Bani Israil!
Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan
kamu dari semua umat yang lain di ala mini (pada masa itu)”. (QS.
Al-Baqarah: 2/47). Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan al-qur’an
akan keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.
Al-qur’an sebagai
sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak
ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain
al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep
pluralisme agama dalam al-qur’an.
E. Pengakuan Al-Qur’an Terhadap
Pluralisme Agama
Pengakuan terhadap plurlisme atau keragaman agama
dalam al-qur’an, ditemukan dalam banyak terminolgi yang merujuk kepada
komonitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab, utu
al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu,
al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an
disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga
memberikan kebeasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ini adalah
sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, tetapi
sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang
memiliki kitab suci Ilahi.Karena memang
pada dasarnya tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah
bersudara, kakak adek, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu sama-sama
berasal dari nabi Ibrahim as.
Pengakuan al-qur’an terhadap pluralisme dipertegas
lagi dalam khutbah perpisahan Nabi Muhammad. Sebagimana dikutip oleh Fazlur
Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa, “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak
ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab
terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang
berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali
karena kebajikannya.” Khutbah
ini menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia dihadapan Tuhan, tidak
ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat
ketakawaan. Sebagaimana Firman Allah “ Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa”. (QS. Al-Hujurat:
49/13).
Pengakual al-qur’an
terhadap ah al-Kitab antara lain:
199. Dan Sesungguhnya diantara ahli Kitab ada
orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan
mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya. (QS. Ali Imaran : 3/199).
Menurut riwayat Jabir
Ibn Abd Allah, Anas, Ibn Abbas, Qatadah da al-Hasan, teks surat Ali Imran ayat
199 di atas, turun berkenaan dengan kematian raja Najasyi dari Habsah. Pada
saat kematian raja Najasyi, Nabi menyuruh kepada sahabatnya untuk melaksanakan
shalat jenazah. Para sahabat saling
membicarakan kenapa Rasul menyuruh untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja
kafir (ateis). Maka turunlah ayat di atas untuk menegaskan spritualitas
sebagian ahli Kitab.
Al-qur’an juga secara
eksplisit mengakaui jaminan keselamatan bagi komonitas agama-agama yang
termasuk Ahl al-Kitab (Yahudi, Nasrani, Shabi’in); sebagaimana dalam
pernyataannya.
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan
beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Al-Baqarah:
2/62).
[56] Shabiin ialah orang-orang yang
mengikuti syari''at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang
atau dewa-dewa.[57] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan
Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad saw. percaya
kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala
dari Allah.[58] ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam,
baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
Sayyid Husseyn
Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan: Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini
menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh semua kelompok
agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan
dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memnuhi kaidah iman kepada
Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas itu
mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama
benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan semua
golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan
beramal shaleh.
Sikap pengakuan
al-qur’an terhadap adanya jaminan keselamatan bagi agama lain diluar Islam
sangat kontaras denga prinsip ajaran agama Katolik, seumur-umur gereja Katolik
belum pernah mengakui keselamatan yang ada di luar gereja Katolik. Keselamatan
hanya ada dalam agama Katolik. Kritik dan protes yang dilancarkan gerakan
keagamaan Protestan yang dimotori oleh Martin Luther selama 400 tahun lamanya
tidak banyak merobah hegemoni kebenaran tunggal yang dimiliki agama ini. Baru
pada tahun 1965 dalam konsili Vatikan II, gereja Katolik mulai mengubah cara
pandang keagamaannya. Mereka mulai membuka diri mau mengakui adanya
pluralitas keselamatan di luar gereja Katolik.Demikian juga
halnya yang terjadi pada agama Protestan yang menurut sejarah kelahirannya
merupakan gerakan protes dan pembaharuan terhadap gereja Katolik, mulai terasa
kepayahan untuk menyatukan langkah gereja-gereja kecil dalam sekte-sekte yang
independen dilingkungan iternal agama Protestan. Penganut sekte-sekte dalam
agama Protestan tidak selamanya dapat akur antara satu dengan yang lainnya.
Sungguh menarik untuk
mencermati dan memahami pengakuan al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang
berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan obat penetram (syifa li
mafi al-shudhur) terhadap pluralitas agama, jika ayat-ayat al-qur’an
dipahami secara utuh, ilmiah-kritis-hermeneutis, terbuka, dan tidak memahaminya
secara ideiologis-politis, tertutup, al-qur’an sangat radikal dan liberal dalam
mengahadapi pluralitas agama.
Secara
normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap
eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak
yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk
para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada
gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Abdurrahman
Wahid, merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan
penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang
hakiki. Al-qur’an
berulangkali mengakui
adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi,
Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang
beriman di dalam Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan
mengatakan, bahwa setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan
jalan-jalan tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda,
semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa
saja berbeda-beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada
satu titik yang sama yakni Allah swt.
F. Pluralisme Agama Keniscayaan
Sejarah
Agama dan beragama
lebih dahulu dari usia sejarah itu sendiri sebab sejarah belum ditulis
sedikitpun kecuali setelah manusia mengenal peradaban. Pluralisme
atau kebeinekaan agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bias
dibantah) dan merupakan keniscayaan sejarah (historical necessary)
yang bersifat universal.Prespektif
sosio-historis, pluralisme keagamaan merupakan realitas emperis yang tercipta
diluar otoritas manusia, kesadaran akan realitas tersebut dan kesediaan
menerima keragaman sebagai suatu hal yang tidak mungkin dipisahkan dari
kehidupan umat manusia. Dalam bahasa
agama, pluralisme atau kebinekaan merupakan sunnatullah (kepastian
hukum Tuhan) yang bersifat abadi (perennial); argumen historis yang
menunjukkan keniscayaan sejarah akan pluralisme agama ini, dikemukakan oleh
Ismail Raji al-Faruqi bahwa kebinekaan atau pluralisme agama tersebut
disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi
umat yang menerimanya. Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama
itu satu karena bersumber pada yang satu (Tuhan). Sebagaimana firman-Nya “Maka
hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus (tetaplah) atau fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Al-Rum: 30/30). Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat
perkembangan sejarah, peradaban, lokasi, dan kebutuhan umat yang menerimanya,
din al-fitrah tersebut berkembang menjadi suatu agama historis atau
tradisi agama yang spesifik dan beraneka plural.
Bila kita merujuk kepada sejarah
agama, kita menemukan bahwa tiga agama besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam
lahir dari satu bapak (Ibrahim). Ini yang membuat kita mengerti akan
sabda Rasulullah tentang para nabi bahwa mereka dalah “keluarga besar (abna
‘allat)”. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara
historis-geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidak
berjauhan, sampai setiap agama itu menyebar ke seluruh benua. Seharusnya,
hubungan antara gama yang satu dengan agama yang lainnya adalah hubungan
persaudaraan. Sayang, pada kenyataannya setiap agama justru mempersempit gerak
agama lain. Masing-masing menciptakan suasana ketegangan, jika tidak ingin
dikatakan suasana permusuhan. Hubungan paling buruk terjadi antara Kristen, di satu
sisi, dengan Yahudi dan Islam, disisi lain. Dan hubungan paling ringan adalah
hubungan antara Islam, di satu sisi, dengan Kristen dan Yahudi di sisi lain.
Yang demikian itu terjadi karena Islam, sebagai agama terakhir, harus
menentukan sikapnya terhadap agama-agama yang datang mendahuluinya. Sesungguhnya
Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama-agama yang saling berhubungan, yang perbedaan-perbedaan
di antara ketiganya sangatlah kecil. Kemahaesaan
Allah meniscayakan akan pluralitas selain Dia, artinya hanya Allah saja yang
Esa (tunggal) sedangkan selain Dia, adalah plural. Menolak pluralisme berarti pada
dasarnya menolak kemajemukan, sedangkan menolak kemajemukan sama saja dengan
mengingkari sunnatullah, dan itu tidak mungkin.
G. Upaya Memelihara Pluralisme
Agama
Pada dasarnya
pluralisme tidak membutuhkan suatu sistem yang baku untuk memeliharanya, yang dibutuhkan adalah pemhaman
masyarakat beragama tentang pluralisme itu sendiri. Namun walaupun demikian ada
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pluralisme,
antara lain:
1. Adanya Kesadaran Islam yang Sehat
Pluralisme dalam
masyarakat Islam memiliki karakter yang berbeda dari pluralisme yang terdapat
dalam masyarakat lain. Ciri khas dalam Islam meniscayakan adanya perbedaan baik
itu perbedaan ras, suku, etnis, sosial, budaya dan agama. Dan pluralisme tidak
dimaksudkan sebagai penghapusan kepribadian Islami. Kesadaran Islam yang cerdas
merupakan faktor yang menjamin pluralisme dan menjaganya dari penyimpangan dan
kesalahan. Kesadaran Islam yang cerdas tidak pernah menutup diri dari berbagai
kecenderungan yang positif obyektif. Bahkan kecenderungan itu bisa jadi akan
menambah keistimewaan agama Islam itu sendiri.
Kesadaran Islam yang
sehat akan mampu melihat dengan jernih sisi kebnaran yang terdapa dalam agama
lain karena semua agama punya nilai-nilai kebenaran yang bersifat univerasl, tidak
panatisme agama secara berlebihan dan selalu membuka diri dengan orang lain
walupun berbada agama dan keyakinan. Bila sikap seperti ini dimiliki oleh
setiap muslim, maka pluralisme agama dapat berkembang denga baik yang pada
akhirnya akan tercipta kerukunan dan toleransi umat beragama yang baik dan
harmonis ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Pemahaman konsep amar
ma’ruf nahi mungkar yang
benar, akan mampu menjadi perangkat lunak yang akan menjamin terwujudnya
pluralisme. Karena amar ma’ruf nahi mungkar memberikan peluang bagi
tumbuhnya kebebasan berpikir dan mendorong terwujudnya kondisi demokratis. Jika
amar ma’ruf nahi mungkar tidak lagi berjalan dalam masyarakat
sebagaiman mestinya, maka akan sangat mungkin tumbuhnya kemungkaran yang tidak
terhitung, tanpa ada seorang pun yang berani melakukan kritik dan reformasi
sosial. Kondisi seperti ini akan melahirkan sikap anti pluralisme.
Sayangnya, kadang kala
karena kesalahpahaman akan konsep amar ma’ruf nahi mungkar, yang
terjadi justru amar ma’ruf nahi mungkar menjadi perangkat yang melawan
pluralisme bahkan cederung membenarkan tindakan-tindakan anrkis. Ini terjadi
ketika konsep amar ma’ruf nahi mungkar berda ditangan orang-orang yang
berpandangan totaliter yang memiliki jargon “satu kata” hanya mereka yang benar
sedangkan orang lain salah, inilah senjata mereka dalam memberangus orang laing
yang memiliki pandangan yang berbeda. Seperti
kasus yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air yang hangat dibicarakan
diberbgai media baik cetak maupun elektronik, yaitu bentrok fisik yang terjadi
antar ormas-ormas Islam dengan aliran Ahmadiyah baik di Bogor , Suka Bumi dan daerah-daerah lainnya.
Seharusnya bila semua pihak bisa berlapang dada, saling memahami dan menahan
diri itu tidak semestinya terjadi. Menurut analisa penulis kasus ini, merupakan
salah bentuk penyelwengan makna amar ma’ruf nahi mungkar itu sendiri.
Agama Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar. Islam mengajarkan dengan hikmah (arif dan
bijaksana); uswatun hasanah (contoh
tauladan yang baik) mau’idzah hasanah (pengajaran yang baik)
dan menasehati dengan cara lemah lembut dengan penuh kesabaran dalam
mengajak orang lain kepada jalan kebenaran, bukan dengan cara-cara kekerasan
dan menghakimi. Agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia
untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
umat manusia di bumi ini.Agama dengan
ajaran yang suci dan mulia tidak layak dijadikan tameng untuk mengeksekusi
penganut agama lain yang tidak seagama dalam pergaulan sosial, apa lagi bila
agama dijadikan unsur pembenaran untuk terjadinya konflik sosial antarseasama
umat beragama, melakukan perbuatan anarkis, hal yang demikian adalah merupakan
suatu penistaan terhadap agama, apapun agamanya dan siapa pun yang melakukan
itu tidak dapat dibenarkan.
3. Dialog Antarumat Beragama
Salah satu faktor utama
penyebab terjadinya konflik keagamaan adalah adanya paradigma keberagamaan
masyarakat yang masih eksklusif (tertutup). Pemahaman keberagamaan ini tidak
bisa dipandang sebelah mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang
antipati terhadap pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup
ruang dialog dengan pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya
agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan
lainnya adalah salah dan bahkan dianggap sesat.Paradigma
keberagamaan seperti ini (eksklusif) akan membahayakan stabilitas keamanan dan
ketentraman pemeluk agama bagi masyarakat yang multi agama.
Membangun persaudraan
antarumat beragama adalah kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan sepanjang
zaman. Persaudaraan antarsesama umat beragama itu hanya dapat dibangun melalui
dialog yang serius yang diadasarkan pada ajaran-ajaran normatif masing-masing
dan komonikasi yang intens, dengan dialog dan komonikasi tersebut akan
terbangun rasa persudaraan yang sejati. Dengan
terwujudnya rasa persaudaran yang sejati antarsesama umat, maka akan sirnalah
segala sakwa sangka di antara mereka.
Alwi Sihab mengatakan,
dialog antarumat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan
umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut
dimaksudkan untuk saling mengenal, saling pengertian, dan saling menimba
pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan dialog akan memperkaya
wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat
dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan
pluralisme.Agama Islam
sejak semula telah menganjurkan dialog dengan umat lain, terutama dengan umat
Kristen dan Yahudi yang di dalam al-qur’an disebut dengan ungkapan ahl
al-Kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl al-Kitab
untuk panggilan umat Kristen dan Yahudi, mengindikasikan adanya kedekatan
hubungan kekeluargaan antara umat Islam, Kristen dan Yahudi.Kedekatan
ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat
manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genologi ketiga utusan (Musa, Isa
dan Muhammad) yang bertemua pada Ibrahim sebagai bapak agama tauhid. Ketiaga
agama ini, sering juga disebut dengan istilah agama-agama semitik atau agama
Ibrahim.
PENUTUP
Konsep pluralisme agama
sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia merupakan bagian prinsip dasar dari
agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai agama yang mengemban misi rahmatanlilalamin
memandang pluralisme atau keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah
swt, yang harus diterima oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah
bagian dari otoritas Allah (sunnatullah) yang tidak dapat dibantah
oleh manusia. Secara historis, pluralisme agama adalah keniscayaan sejarah yang
tidak dapat dipungkiri, hal ini tergambar dalam sejarah tiga agama besar yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam yang bersumber dari satu bapak tetapi banyak ibu.
Al-qur’an dalam
berbagai kesempatan banyak berbicara tentang pluralisme, bahkan al-qur’an
berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum
tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap
adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Sikap pengakuan al-qur’an
terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme
ketika menegaskan sikap penerimaan al-qur’an terhadap agama-agama selain Islam
untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya
baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya diakui
oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam
agama lain.
Pluralisme agama dapat
terjaga dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas
dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membnagun dialog
dan komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan persaudaran yang baik
sesama umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak
dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi
Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia ,
Yogyakarta : Kanisius, 2007.
Azyumardi
Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta : Kompas, 2002.
Amir
Mahmud (Ed); Isalam dan Realitas Sosial Di Mata Intelektual Muslim Indonesia , Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005.
A.
Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia ,
Jilid V: Biro Hukum dan Humas Depag: Jakarta ,
1999.
Alef
Theria Wasim dkk (Ed); Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Peraktik &
Pendidikan, Yogyakarta : Oasis Publisher,
2005
Abd.
A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta :
Kompas, 2002.
Alwi
Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung : Mizan, 1999.
Aloys Budi Purnomo, Membangun
Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta :
Kompas, 2003.
Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi
Setara Pandangan Islam tentang Non-Islam, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme
Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta :
Prespektif, 2005.
Bahtiar Effendy (Ed); Agama dan
Radikalisme di Indonesia, Jakarta :
Nuqtah, 2007.
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme
Dalam Al-Qur’an, Jakarta :
Menara, 2006.
Hendra
Riyadi, Melampaui Pluralisme Etika Al-qur’an tentang Keragaman Agama, Jakarta : PT. Wahana
Semesta Inetrmedia, 2007.
Jalaluddin
Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaam, Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2006.
J.
Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arab: Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta : Dokpen MAWI,
1983
Jauhar
Azizy (Tesis 2007); Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an: Telaah Terhadap
Tafsir Departemen Agama, (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Muhamad
Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan,
Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2003.
Murad
W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung : Pustaka hidayah, 2002.
Muhammadiyah,
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP, Tafsir Tematik Al-Qur’an
Tentang Hubungan Sosial Anatarumat Beragama, Yogyakarta :
Pustaka SM, 2002.
M.
Amin Abdullah, Alqur’an dan Pluralisme dalam Khazanah: Jurnal Ilmu
Agama Islam, Volume 1, Nomor 6, Juli-Desember, 2004.
Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Aql
al-Siyasi al-Arabi, Beirut :
al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991.
M.
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Kebangsaan, Yogyakarta :
Pilar Media, 2007.
M.
Yudhi R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna Tersembunyi di
Balik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Nurkhalis
Madjid, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta : Kompas, 2001.
Nurkhalis
Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta : Paramadina, 1999
Nurkhalis
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia , Jakarta : Paramadina, 2003.
Suarahman
Hidayat, Islam Pluralisme dan Perdamaian, Jakarta : Fikr, 1998.
Said
Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta : PT. Ciptuta Press, 2005
Said
Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem
Pendidikan Islam, Jakarta :
Ciputat Press, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar