Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU.
Nomor 39 Tahun 1999: Telaah dalam Perspektif Islam
Catatan Pembuka
Dewasa ini hak asasi manusia tidak
lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme
seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara humanistik sebagai
hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang
ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Konsep
tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan
yang lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:
“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”
Dengan pemahaman seperti itu, konsep
hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common standard of achivement for
all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi
kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.
Pada tataran internasional, wacana
hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejak
diproklamirkannya The Universal Declaration of Human Right tahun 1948, telah
tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan penegakan hak asasi
manusia internasional. Pertama, diterimanya dua kovenan (covenant) PBB,
yaitu yang mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun baru
berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara
anggota PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh
para wakil dari 171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak
Asasi Manusia PBB di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi
antar visi negara-negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang
dalam penegakan hak asasi manusia.
Di Indonesia, diskursus tetang
penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah
di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya
Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang
penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan berkesinambungan.
Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam
kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi
untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan
HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh
internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global,
namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika
intrenal yang merespon gejala internasional secara positif.
Adalah pada tahun 1999 lah,
Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan
menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah
progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di
bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh
isinya.
Beberapa pertanyaan mendasar muncul
pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana konsep HAM menurut undang-undang
tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi dengan dinamisasi masyarakat?
Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia mengakomodasi nilai-nilai
universal?
Tulisan singkat ini tidak akan
menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan mencoba menelisik persoalan
HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap instrumen UU no. 39 tahun
1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi komparatif dengan konsep
HAM dalam Islam mengingat keberadaan Indonesia yang berpenduduk mayoritas
muslim. Pembahasan akan diawali dengan membeberkan konsep HAM dalam
kerangka UU. No. 39 tahun 1999, dilanjutkan dengan HAM dalam perspektif Islam
dan diakhiri dengan analisis berupa kajian UU tentang HAM ditinjau dalam
perspektif Islam.
Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun
1999
Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam Undang-undang ini pengaturan
mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi
Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Islam
Masalah hak asasi manusia menurut
para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentag negara dan hukum,
berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak
assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung 1215), yaitu dokumen yang mencatat
beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris kepada bangsawan bawahannya
atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut.
Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang
diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan rrevolusi
tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan
terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of
Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776.
seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak
manusai dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi
Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan
absolut. Selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika
Serikatr pada tahun 1789, bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain
naskah tersebut dimasukkan atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791.
Beberapa pemikiran tentang hak asasi
manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya terbatas pada hak-hak yang
bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak memilih dan
sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia
diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya.
Berdasar naskah-naskah di atas,
Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32) meringkaskan paling tidak
terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus diakui, yakni (1)
freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, (2)
freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want (kebebasan dari
kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).
Jika dilihat lebih seksama, semua yang
termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di atas, yang berkaitan dengan
hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan Empat Kebebsan terdapat
dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat. Kendati demikian,
Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M) dan
al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H
(tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh
kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau
dibandingkan dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai
tiga belas abad di belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.
Secara historis, berbicara tentang
konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi Piagam Madinah. Pada alenia
awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم
Terdapat sedikitnya lima makna pokok
kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi
terata, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis, ketiga,
kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership), dan
kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).
Hak asasi manusia yang terkandung
dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak untuk hidup,
kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
1. Hak untuk hidup
Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
2. Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat.
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
c. Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
d. Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan pendapat.
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25.
c. Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
d. Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
3. Hak mencari kebahagiaan
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin.
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin.
Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39
tahun 1999 dan Islam
Walaupun tidak sampai pada tingkatan
studi kritis dan dengan mencoba melakukan komparasi secara sederhana antara
konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 dengan konsep
HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional maka studi ini bermaksud
menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua konsep tersebut.
Untuk melakukan kajian ini penulis
membagi ke dalam beberapa domain, antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa,
keadilan, kesejahteraan bersama,
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Piagam Madinah dimulai dengan
kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan dan juga tidak akan
membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara pendukung
Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan kerusakan,
penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal 42.
Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun
1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point 1 disebutkan bahwa hak asasi
manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada manusia dalam eksistensinya
sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya. Artinya persoalan
penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan manusia pada posisi
sentral (antropoSentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental yang juga
harus diperhatikan.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam
terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah maupun UU
tentang HAM.
2. Keadilan
Keadilan tercantum secara tegas baik
di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Piagam Madinah maupun
di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan konstitusi mana
saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema pada setiap ada persekutuan
sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan, menurut Daniel
Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur.
Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun
1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
memperoleh keadilan. Tentu saja cara mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan melalui mekanisme yang telah diatur. Semua perkara, kasus, dan
sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum.
Menurut SM. Amin, hukum adalah
kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang
bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keadilan,
keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi Islam, berbuat
adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.
3. Kesejahteraan bersama
Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999
disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memiliki demi pengembangan
dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum. Lebih jauh lagi dalam pasal 27
(2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak untuk mendapatkan kesejahteraan
dalam Islam merupakan salah satu yang diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan
sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam terhdapa terciptanya kesejahteraan
bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu, Islam juga sangat
mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong terutama terhadap
kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.
Catatan Penutup
Berdasar penelusuran historik, M.
Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar yang harus dipenuhi untuk
membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM, demokrasi, dan negara
hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut
menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII.
Pemerintah berkuasa karena rakyat
memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, agar negara dapat
memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999
bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian perlindungan tersebut. Jika
ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 relevan dengan konsep
HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Piagam Madinah.
Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, dan
kesejahteraan bersama.
Kendati demikian, pertanyaan kritis
yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah adalah bagaimana penegakan HAM
pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM
masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang. Nampaknya pembicaraan tentang
hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah diskursif di forum-forum ilmiah
tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.
Semoga dapat ber(di)manfaat(kan).
Selamat berdiskusi!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar